Friday, March 21, 2014

PEMBUKAAN PART 1

      Kuda besi berlari menembus kabut di pematang sawah daerah indramayu. Kudabesi  tua yang bernama matarmaja pada pagi itu penuh sesak dengan rombongan manusia yang ingin pergi ke ibukota. Rombongan manusia yang memiliki masing-masing kepentingan. Ada yang ingin ke jakarta karena ingin mendapat nasib yang lebih baik, kebanyakan mereka beranggapan jakarta tempat yang mudah mencari uang seperti selama ini yang mereka tonton di layar kaca. Ada yang ingin ke jakarta karena berpikir jakarta adalah tempat yang asik untuk melepas penat. Ada juga segerombol orang desa yang ke jakarta ingin melihat kemegahan jakarta yang selama ini hanya bisa mereka tonton lewat acara tv. Bahkan di salah satu sudut gerbong nomer tiga, ada tiga orang remaja yang ingin merantau ke jakarta karena ingin menjadi penonton bayaran di acara televisi.
    Kursi nomer 56 gerbong nomor dua, seorang pria muda berkumis tipis, berambut acak-acakan dan berperawakan tidak terlalu tinggi. Pria tersebut mengenakan arloji merk swiss, namun arloji tersebut amat kentara sekali kepalsuannya. Arloji yang biasa dibeli di pinggir jalan. Tasnya tidak menggembung layaknya orang yang sedang merantau, mungkin tas tersebut hanya berisi tiga atau empat potong baju. Pria tersebut sepanjang perjalanan selalu menatap luar jendela, sepertinya pria tersebut tak mau melewatkan sejengkal pun tanah yang dia lalui sepanjang perjalanannya ke jakarta. Sebuah perjalanan yang akan menandai perubahan besar bagi hidupnya atau bahkan perubahan besar bagi tanah yang menjadi tujannya.
      Pria tersebut adalah aku, seorang pria biasa yang memiliki kehidupan biasa dan cita-cita yang biasa. Aku pergi ke jakarta bukan karena aku memang ingin kerja disana. Namun lebih hanya sekedar bentuk keputusasaanku dalam mencari pekerjaan dan rasa maluku menghadapi hinaan tetanggu yang selalu mengataiku sarjana gagal. Mereka bilang percuma saja aku sekolah tinggi. Aku sakit hati, karena  orangtuaku menyekolahkan aku denga perasan keringat yang membanjiri pori-porinya. dengan peluh yang membanjiri kelopak matanya. Dalam hati aku selalu berkata suatu saat aku harus menyumpal mulut mereka dengan kesuksesan yang kuraih. Di sepanjang jalan otakku selalu terbayang keluargaku dirumah. Aku sangat menyanyagi mereka. Aku ke jakarta demi mereka. bahkan aku rela untuk menunda pernikahanku demi mereka.
            Matarmaja sampai senen beberapa jam kemudian. Wajah riang menghiasi manusia-manusia yang berebutan keluar dari kereta. Wajah penuh harap akan masa depan yang lebih baik. Mereka tidak tahu atau bahkan tidak tahu betapa kerasnya hidup di metropolitan. Mereka tidak tahu apa saja masalah yang akan mereka hadapi dijalanan jakarta nanti, atau bahkan masalah yang akan mereka hadapi saat baru beranjak beberapa meter dari kereta. Dari ratusan manusia tersebut mungkin hanya aku menyadari betapa kerasnya jakarta. Semua jenis pekerjaan dihalalkan disini. Mencuri, merampok, membunuh, bahkan menipu rakyat wajar terjadi  dikota ini. Aku sadar resiko datang kesini aku bisa terpengaruh dengan mereka. Namun kuyakinkan dalam diri. Aku harus sukses dengan terhormat, sehingga semua orang dikampung menghormatiku.
     Beruntung aku masih selamat ketika sampai disalahsatu jalan protokol. Aku belum dijambret, dicopet, dirampok atau bahkan dibunuh. Hal pertama yang kurasakan saat melihat jakarta adalah betapa butanya orang kaya disini. Orang kaya tinggal ditempat yang tinggi dengan segala kemewahannya, namun tetap bisa tidur pulas melihat dibawah rumahnya ada orang tidur beratapkan langit. Orang kaya makan  di restorant kapitalis dengan lahapnya, padahal didepannya ada orang sedang mengorek sampah untuk mencari makanan. Orang kaya disini senang sekali menghamburkan uang, mereka membeli baju, tas dan sepatu dengan harga yang sangat mahal, separuh harga barang tersebut bahkan mampu memberi makan ratusan gelandangan. Mereka lebih senang memperkaya kapitalis asing dengan makan di restoran milik asing daripada makan ditempat orang pribumi. Padahal restorant asing itu hanya menyediakan masakan sampah.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment